4.8.10

Peng-kriminalan Politik oleh detasemen 88 RI

  • Mereka dipenjara, paling tinggi 20 tahun, karena kegiatan politik. Kebanyakan terkait dengan penaikan bendera Bintang Kejora atau Republik Maluku Selatan. Mereka tak melakukan kekerasan. Para pesakitan Alifuru termasuk sekelompok lelaki yang menarikan cakalele di Stadion Ambon, 29 Juni 2007, di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
  • Phil Robertson dari Human Rights Watch serta Johnson Panjaitan dari Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku bicara pada peluncuran di Hotel Grand Cemara, 23 Juni 2010. Haris Azhar dari Kontras juga ikut minta pemerintah Indonesia membebaskan para pesakitan itu. ©2010 Andreas Harsono

  • Human Rights Watch tak punya posisi dalam isu self-determination di Indonesia. Laporan ini juga tidak bermaksud sebagai bentuk dukungan atau pun pelecehan terhadap aspirasi merdeka dari aktivis Papua maupun Alifuru. Namun konsisten dengan hukum internasional, Human Rights Watch mendukung hak semua orang, termasuk pendukung self-determination, untuk mengungkapkan pandangan politik mereka secara damai, tanpa ketakutan atau ditangkap atau menerima hukuman.
  • Sebagian besar dari pesakitan politik ini divonis makar dengan pasal 106 dan 110 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam beberapa kasus, mereka disiksa di tahanan maupun penjara. Beberapa menerima penganiayaan serta penolakan bantuan medis selagi di penjara.
  • Enam orang pesakitan politik Maluku di penjara Lowokwaru, Malang. Berdiri (kiri ke kanan): Yunus Maryo Litiloly, Johan Teterisa dan John Syaranamual. Duduk: Leonard Joni Sinay, Leonard Hendriks dan Ferjohn Saiya. Johan Teterisa, seorang guru SD di desa Aboru, Pulau Haruku, memimpin 27 penari membawakan tarian cakalele sambil mengibarkan bendera RMS pada 29 Juni 2010. ©2009 Abraham Hamzah

  • Menurut Johan Teterisa dari desa Aboru, Pulau Haruku, dia ditangkap petugas Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) saat menari cakalele di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tamu lain. Hanya dalam hitungan jam, dia sudah disiksa oleh polisi Ambon di markas besar Detasemen Khusus 88, daerah Tantui, Ambon. Mereka memukul Teterisa sekitar 12 jam setiap hari selama 11 hari. Dia dipukul dengan batang besi dan batu, serta disayat dengan bayonet.
  • Pada 30 Juni 2007, empat polisi Detasemen Khusus 88 memukulnya di pinggir pantai, berguling-guling hingga masuk laut. Mereka terus pukul dia dalam air laut. Teterisa mengatakan dada serasa remuk, beberapa tulang rusuk patah, serta tubuh lebam-lebam hitam.
  • Suatu malam, Juli 2007, sekitar pukul 23:00, beberapa petugas membawa Teterisa ke Stadion Merdeka. Dia diborgol dan berjalan dengan todongan pistol. “Beta terus berdoa. Beta takut dihabiskan malam itu. Beta pikir mereka cuma punya satu pilihan: bunuh beta.” Ternyata Teterisa hanya diminta menunjukkan tempat kejadian, cerita rute masuk stadion, lalu dibawa kembali ke tahanan. Kini di penjara Lowokwaru, menjalani hukuman 15 tahun, Teterisa mengatakan sering pusing kepala dan tak bisa tidur pada sisi badan yang tulang rusuk patah.
  • Reimond Tuapattinaya, juga pesakitan RMS, kini di penjara Kediri dengan hukuman makar karena ikut upacara bendera RMS pada 25 April 2006, mengatakan, "Kita dibuka pakaian, tinggal celana dalam, tidur dikasih di atas tegel, pagi-pagi disuruh merayap, ditendang, diinjak. Kalau mereka pegang besi, kita kena besi. Kalau mereka pegang kayu, ya kita kena kayu. Kabel ya kabel. Sepatu, kepalan tangan." Tuapattinaya ada 14 hari di Tantui, disiksa setiap hari. "Siang diambil, sore dikembalikan ke tahanan," katanya.
  • Pengacara Johnson Panjaitan dari Tim Advokasi Masyarakat Sipil Maluku (Tamasu) mengatakan dia sudah bekerja selama 20 tahun mendampingi macam-macam pesakitan politik, dari Aceh hingga Papua, dari Ambon hingga Timor Timur. Dia bilang pesakitan Alifuru adalah korban siksaan paling kejam di Indonesia. Ambon juga termasuk kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang paling jarang dimengerti orang.