25.4.10

Alexander Manuputty: Proklamasi RMS 25/4/1950 bukan Makar

  • Eddi Santosa - detikNews

  • Den Haag - Apakah peristiwa Proklamasi RMS 25 April 1950 adalah merupakan peristiwa makar? Makar kepada siapa? Makar kepada Republik Indonesia Serikat (RIS)? Siapakah yang memberikan hak bagi RI untuk melarang kemerdekaan Maluku Selatan? Pertanyaan retorik di atas disampaikan pemimpin Front Kedaulatan Maluku (FKM), Alexander H. Manuputty, dalam pidato tertulis pada HUT Kemerdekaan Republik Maluku Selatan ke-54, 25 April lalu.

  • Naskah pidato tersebut beredar di Belanda dan sampai ke tangan detikcom hari ini (Rabu, 28/4/2004). Manuputty, yang dikini bermukim di California (AS), berusaha memenangi opini publik di Belanda dengan menjernihkan duduk soal negara Republik Maluku Selatan (RMS), sebuah negeri merdeka dan berdaulat yang dicita-citakan.

  • Ia antara lain mengungkap soal latar belakang yuridis, yang mungkin saja selama ini dipahami secara berbeda di pihak Indonesia. "Bukankah dalam RIS ada Ketentuan Pelaksanaan Penentuan Nasib Sendiri yang ditujukan kepada Republik Indonesia (RI) Yogyakarta, negara-negara bagian lainnya, Maluku dan lain-lain daerah di Kepulauan Indonesia?" tanya Manuputty, dalam lembaran berkop Front Kedaulatan Maluku (FKM) untuk Republik Maluku Selatan (RMS), dengan alamat Kantor Pusat di Jl. Dr. Kayadoe, No. 71, Lrg. PMI Kudamati, Ambon, Moluccas. Manuputty, yang menyebut Maluku sebagai 'Tanah yang Dijanjikan' dengan mengutip Lukas 12 : 32, menambahkan bahwa dalam Negara Indonesia Timur (NIT) juga ada Pasal 5 Muktamar Denpasar (7 Desember 1946) yang menjamin pelaksanaan Penentuan Nasib Sendiri bagi ketigabelas wilayah otonom dalam NIT, termasuk juga untuk Maluku.

  • "Bukankah Maluku pada saat itu berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Dewan Maluku Selatan (DMS)? Bukankah DMS tidak mempunyai hubungan dengan RI, baik itu hubungan konstitusional, struktural maupun fungsional?" sambungnya. Dijelaskan bahwa hubungan Maluku Selatan dengan NIT adalah hubungan secara bersyarat melalui Keputusan DMS tertanggal 11 Maret 1947 untuk pelaksanaan kemerdekaan Maluku Selatan jika NIT tidak memperhatikan kepentingan Maluku Selatan. "RI merdeka sebagai negara bagian maupun negara bebas sendiri tidak ada yang melarang, kenapa untuk Maluku Selatan RI melarangnya? Siapakah yang memberikan hak bagi RI untuk melarang kemerdekaan Maluku Selatan," gugat Manuputty.

  • Lebih jauh Manuputty menyodorkan argumen mengenai Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Maluku Selatan, yang menurutnya antara lain didasarkan pada Atlantic Charter 14 Agustus 1941, Pasal 1, 2 dan 3; Preambule Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (RI) tahun 1945 alinea 1, "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,"

  • Selain itu juga didasarkan pada Piagam PBB 24 Oktober 1945, pada pengantarnya dan Pasal 1 Ayat (2); Permusyawaratan Malino 16 Juli 1946, pada butir 2 dan 4; Perjanjian Canberra 6 Februari 1947, yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda dan Selandia Baru, dimana kesemuanya bersepakat untuk memberikan kemerdekaan kepada rumpun bangsa Melanesia (termasuk Maluku dan Papua Barat), Micronesia, dan Polinesia. Kemudian Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947 Pasal 3, 4 dan 5; Perjanjian Renville 17 Januari 1948 pada Ayat (2), (3), (6), (11); Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 1948 Pasal 1 dan 21 Ayat (3), terutama butir 1 dan 14; Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 28 Januari 1949; Persetujuan Rum-Van Royen 7 Mei 1949; Konferensi Meja Bundar (KMB) 2 November 1949, dengan langkah-langkah transisinya (tertera pada poin alasan) 27 Desember 1949.

  • Ditambah lagi dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 23 Maret 1976 Pasal 1 ayat (1) dan Sejarah dan Budaya Maluku/Alif'uru/Ina. Manuputty menegaskan bahwa DMS adalah lembaga yang representatif, aspiratif dan demokratis, dimana seluruh wilayah Maluku Selatan telah terwakili di dalamnya. "Bukankah keputusan suatu lembaga yang representatif, aspiratif dan demokratis adalah mencerminkan keputusan yang representatif, aspiratif dan demokratis pula?" Ia mempersilakan untuk membandingkan hal tersebut dengan keputusan lembaga perwakilan rakyat di negara mana saja.

  • Menurut Manuputty, malah sudah ada plebisit yang affirmatif di Maluku saat itu yang sifatnya bulat, aklamasi, tegas dan terwakili sebagai sampling. Oleh sebab itu, katanya, proklamasi kemerdekaan negara Republik Maluku Selatan (RMS) adalah peristiwa yang wajar, alamiah, dan logis dimana hal itu juga dimiliki oleh bangsa dan atau negara lain di bumi termasuk Indonesia. "Kenapa Indonesia mesti risih, kenapa Indonesia mesti cemburu, kenapa Indonesia merampasnya dengan cara-cara yang biadab? Bukankah RMS memiliki segudang legalitas/keabsahan jika katong mau bandingkan dengan RI yang cuma memiliki satu legalitas saja, yaitu Piagam Atlantik?" demikian Manuputty. (es/)