28.7.07

MEREKA "DIPELIHARA" DENGAN STIGMA MIRING

Artikel & 2 berita tambahan ini diambil dari teman-teman wartawan Info Baru yang baru saja mengunjungi Negeri Aboru untuk meliput suasana masyarakat setelah peristiwa Harganas. Artikel & berita ini diharapkan mewakili perspektif masyarakat Negri Aboru saat ini tentang apa yang mereka alami & harapkan. ------------ MEREKA "DIPELIHARA" DENGAN STIGMA MIRING(Cerita Dibalik Perjalanan Kru Info Baru ke Desa Aboru) ------------ Bila menyebut nama Aboru, banyak orang yang mendengarnya lantas mengidentikannya sebagai salah satu komunitas sub etnis di Maluku yang perawakan masyarakatnya kasar, bengis, hingga ada yang mencap orang Aboru itu pemberontak atau separatis. Stigma ini begitu kuat melekat hingga menjadi stereotip yang cenderung negatif terhadap Aboru. ------------ Tetapi ini pendapat kebanyakan orang luar, sementara masyarakat Aboru tidak pernah diberi ruang untuk mengungkapkan kegetiran dan harapannya. Masyarakat Aboru tidak diberi kesempatan untuk mengklarifikasi berbagai cibiran yang negatif itu. Mereka dibiarkan hidup dalam stigma sebagai orang-orang yang tidak bersahabat, terkungkung dalam keterisolasian informasi dan interkasi sosial dengan desa-desa tetangganya. ------------- Aboru adalah nama desa berpenduduk sekitar 3.000 jiwa di sebelah selatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Terdiri dari tujuh dusun, pemukimannya memanjang, mengikuti teluk yang melindungi desa saat musim gelombang. Belakang desa berbatasan dengan bukit karang yang terjal. Kondisi geografis ini membuat Aboru begitu terisolasi karena tidak ada jalan darat yang menghubungkannya dengan desa-desa tetangga, termasuk ibukota kecamatan di Pelauw. ------------- Untuk mencapai Pelauw misalnya, warga Aboru harus mengeluarkan biaya tidak sedikit, berkisar Rp.50.000-Rp.70.000 sekali jalan. Hasil bumi masyarakat akhirnya lebih banyak di jual ke Passo karena sulit mencapai ibukota kecamatan. Keterisolasian semakin terasa ketika musim timur seperti sekarang ini. Speedboat yang menjadi angkutan rakyat hanya bisa berlabuh di labuhan kampung karena tidak bisa beroperasi. ----------- Selama ini, Aboru dikenal sebagai salah satu basisnya RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku. Setiap menjelang 25 April yang dianggap sebagai hari kemerdekaan RMS, desa ini selalu menjadi buah bibir. Belakangan Aboru semakin di kenal saat sekelompok pemudanya berhasil menyusup sebagai penari cakalele dan hendak membentangkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri perayaan Harganas di Lapangan Merdeka, Ambon. ---------- Bukan baru sekarang orang Aboru berulah. Tanggal 25 April 2002, sekitar 220 bendera RMS berkibar di Aboru. Tahun 2003, 63 warganya menjadi tersangka karena mengibarkan bendera RMS. Pasca insiden penari cakalele di Harganas, 150 personil polisi dikerahkan ke Aboru untuk menangkap 30 warga Aboru yang diduga menjadi anggota RMS pada Minggu 8 Juli 2007. ----------- “Selama ini aparat kepolisian tidak bisa berbuat banyak karena resistensi masyarakat di desa itu memang sangat tinggi,” kata seorang perwira Polda Maluku. ------------ Cerita seorang kawan wartawan saat ke Aboru tahun 2003 bersama Asisten Teritorial (Aster) Kodam Pattimura Kolonel TNI Yudi Zanibar (saat itu Komandan Kodim 1504), Kapolres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, dan sejumlah anggota kopassus yang mengawal, mereka kewalahan menghadapi sifat curiga orang Aboru. Hanya untuk mencari rumah kepala desa, mereka harus berputar-putar dalam kampung hampir dua jam lebih. ----------- “Setiap orang yang kita tanyai selalu berkata tidak tahu dengan wajah tidak bersahabat,” kata Yani Kubangun, wartawan Ambon Ekspres. ------------ Pada April 2006, sejumlah perwira polisi yang berupaya mendekati warga desa bahkan disambut dengan nyanyian “mena-morea”, salam wajib RMS. Salah satu perwira di Polda Maluku mengaku, masyarakat Aboru tidak koperatif jika petugas hendak menanyakan rumah warga di sana. Karena alasan inilah, ketika pengejaran 30 anggota RMS ke Aboru 8 Juli lalu, polisi membawa lima tahanan RMS untuk menunjuk tempat tinggal ketigapuluh anggota RMS yang menjadi target operasi itu. ----------- Ketua Rumah Aspirasi Dewan Perwakilan Daerah Phil Latumerissa yang berkunjung ke Aboru bulan lalu, menilai, resistensi warga merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan mereka. Masyarakat Aboru menggunakan simbol RMS sebagai alat ekspresi kekecewaan karena merasa diperlakukan tidak adil, baik di bidang pembangunan maupun kesempatan kerja. ------------- “Mereka sangat sulit menjadi pegawai negeri sipil, apalagi polisi dan tentara. Yang menjadi masalahnya adalah stigma bahwa orang Aboru adalah RMS,” katanya. ------------- Dia menilai, stigma menjadi masalah utama yang harus dihilangkan. Pemerintah harus mendekati masyarakat Aboru dengan konsep kesejahteraan. Kesulitan peluang kerja membuat mereka merasa disisihkan. “Masalah utama pada kesejahteraan, bukan ideologi. Kalau dibiarkan bisa menjadi masalah ideologi,” ujarnya. ------------ Anggota DPRD Maluku dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Marasabessy juga menilai, masalah utama di Aboru adalah kesejahteraan, bukan ideologi. Menurutnya, bila ingin menghilangkan separatisme di daerah itu, perlu ada pendekatan kesejahteraan. “Pendekatan yang harus dilakukan pemerintah adalah pembangunan yang berkeadilan. Masyarakat di sana membutuhkan sentuhan dan perhatian pemerintah,” tandasnya. ----------- Info Baru ke Aboru.Banyak cerita negatif tentang orang Aboru. Mereka dikenal sebagai orang yang skeptis terhadap pendatang, seringkali tidak mengenal kompromi, dan nekat melakukan apa saja. Dari berbagai cerita itu, Info Baru ingin membuktikan apakah Aboru begitu menyeramkan sebagaimana penilaian kebanyakan orang Maluku. ----------- Pemimpin Umum Info Baru Rizal Sangadji, Kepala Bagian Pemasaran dan Sirkulasi Hanafi Latuconsina, Redaktur Pelaksana M. Azis Tunny, dan wartawan Info Baru Giman Saimima, mencoba membuktikan berbagai tuduhan itu, benar atau salah. ----------- “Kita harus datang tanpa kawalan aparat keamanan untuk membuktikan apakah Aboru itu aman untuk orang luar atau tidak. Sepanjang niat kita baik, saya yakin masyarakat Aboru akan menerima kita,” tandas Rizal. ------------ Rabu 11 Juli 2007, sekitar pukul 07.00 Wit, keempat kru Info Baru ini meluncur dengan mobil di atas jalan aspal yang masih basah karena hujan semalaman. Perjalanan kami menuju pelabuhan Hurnala Tulehu yang jaraknya sekitar 26 kilometer dari Kota Ambon. Di sana telah menunggu speedboat yang kebetulan saja milik pimpinan perusahaan koran ini. Di atas pelabuhan, tampak dari kejauhan buih putih gelombang musim timur menandakan kondisi laut tidak begitu bersahabat. ------------ Tapi tekad kami ke Aboru sudah bulat. Speedboat kapasitas 25 penumpang, bermesin 300 PK itu hanya berisikan delapan orang, diantaranya empat kru Info Baru dan empat awak speedboat. Kendaraan laut yang kami tumpangi melaju cepat membelah ombak mendekati selat antara Pulau Haruku dan Pulau Saparua. Kami sengaja memilih jalur memutar karena gelombang Tanjung Oma terlalu besar untuk dilewati. ------------- Ternyata dugaan kami salah. Ombak disertai arus dari Laut Banda masuk melalui celah dua pulau ini, menghantam body speedboat hingga nyaris tenggelam. Negoisasi alot terjadi, apakah terus menuju Aboru atau merapat di pantai Hulaliuw, baru dilanjutkan dengan perjalanan darat. Kami akhirnya sepakat merapat di Tanjung Pasir Putih Hulaliuw karena ganasnya gelombang yang tak kenal kompromi. ------------- Sesampainya di darat, pakaian basah kuyup karena air laut sempat masuk ke dalam speedboat. Kami lantas menyewa angkutan umum dari Hulaliuw yang akan mengantar sampai ke dusun Naira desa Aboru. Setelah tawar-menawar harga, angutan umum milik warga Kailolo itu akhirnya di sewa dengan harga Rp.120 ribu, sekali jalan. ------------ Perjalanan semakin berat ketika mobil yang kami tumpangi memasuki dusun Naira. Tidak ada lagi jalan aspal, yang ada hanya bekas gusuran yang sudah hampir tertutup semak belukar. Sang sopir yang mengaku sebagai sepupu anggota DPRD Maluku Ridwan Marasabessy ini membuka percakapan. ----------- “Jalan ke Aboru seng pernah di bangun. Hanya digusur dan dibiarkan begitu saja. Termasuk jembatan, seng pernah selesai dibangun. Wajar bila dorang marah dan melakukan tindakan melanggar hukum. Menurut beta, itu hanya aksi protes untuk mendapat perhatian,” kata sang sopir. ------------ Kendaraan kami akhirnya sampai di Waira, sebuah sungai kecil di ujung dusun Naira. Di sana ada jembatan yang dikerjakan sejak tahun 2004 namun belum selesai dibangun. Baru ada dua tiang penyangga jembatan yang berada tengah-tengah hutan berlukar. Setelah melewati jembatan Waira yang belum selesai dikerjakan, perjalanan pertama kami sudah terasa berat karena jalanan langsung menanjak naik. ------------ Perjalanan dari Waira hingga masuk kampung Aboru sekitar empat kilometer, melewati medan cukup berat. Sesekali kami harus berhenti untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Dalam perjalanan itu, kami sering berpapasan dengan warga Aboru yang hendak ke hutan untuk berkebun. ----------- Kami terus menyusuri jalan gusuran yang dibuka oleh salah satu kontraktor asal Aboru tahun 2003 lalu, namun karena tidak ada lagi kucuran dana membuat proyek ini terhenti. Kondisi jalan gusuran sudah rusak di mana-mana, selain karena tumbuh semak, erosi membuat jalan menjadi rusak. Lebih parah lagi, jalan gusuran di tepi pantai lebarnya kini tinggal satu meter karena abrasi laut mengikis bibir pantai yang tidak dibangun talud penahan ombak. ----------- Kecewa Pada PemerintahSetelah masuk perkampungan, ketegangan mulai terasa. Setiap orang yang kami sapa tidak menjawab, tersenyum pun tidak. Untuk mencairkan suasana tegang, kami berusaha santai dengan terus mengabadikan gambar di dalam kampung dengan kamera digital maupun handycam yang dibawa. ------------- Pemukiman rumah penduduk tampak bersih, tertata apik dengan jalan melingkari kampung dilapisi beton. Tapi sayang, baik jalan maupun jembatan di dalam kampung di bangun atas swadaya masyarakat dan bantuan orang Aboru di perantauan khususnya di Belanda. Nyaris, tidak ada sentuhan pembangunan dari tangan pemerintah Indonesia di desa itu. Paling tidak hanya ada satu bangunan sekolah dasar dengan dua ruangan, talud 100 meter yang beberapa bagiannya sudah rusak. Pembangunan gedung sekolah dan talud itu dilakukan semasa pemerintahan Penjabat Gubernur Sinyo Harri Sarundajang. ------------ Tiba-tiba saja, beberapa pria mendekati kami dan menanyakan tujuan datang ke Aboru. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa kami adalah wartawan dari Ambon yang ingin meliput suasana Aboru, harapan masyarakat, termasuk dampak insiden tarian cakalele yang memenjarakan banyak orang Aboru, termasuk 29 orang saat ini yang menjadi target operasi polisi. Setelah diberi alasan, mereka akhirnya mau menerima dan dengan sendirinya meminta masyarakat lain berkumpul di baileo negeri. Beberapa orang tua bahkan mengambil kursi di rumah penduduk untuk tempat duduk kami. Di baileo, segala unek-unek mereka yang terpendam seakan meledak keluar. ----------- Kepala Urusan Pemerintahan Desa Aboru Yance Riry kepada Info Baru mengatakan, penilaian pemerintah selama ini salah kalau beranggapan Aboru itu sebagai kantung separatis. Menurutnya, apa yang dilakukan sebagian masyarakat Aboru hanya sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena merasa terlupakan. ------------ “Kami tidak pernah merasa nikmatnya kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seperti apa. Jalan-jalan di dalam desa di bangun atas swadaya masyarakat, jembatan juga. Mana perhatian pemerintah buat kami,” tanya dia. -------------- Yance Sinay saat menjabat Raja Aboru tahun 1980, pernah mengatakan akan ada penggusuran jalan darat sampai ke desa Aboru dalam waktu singkat. Ternyata sampai tahun 2003 baru ada penggusuran, itupun tidak sampai ke kampung. Jalan yang gusur sudah dalam kondisi rusak karena terkena erosi dan abrasi. “Hanya janji-janji yang terus kami dapat,” katanya. ------------- Yance mengatakan, selama ini masyarakat Aboru sangat menanti kehadiran bangunan SMA, talud penahan ombak, dan jalan raya yang menghubungkannya dengan desa-desa tetangga. Ia membandingkan dengan desa-desa lain di pulau Haruku, infrastruktur jalan sudah terbangun bahkan ada desa yang jalan rayanya sampai ke hutan. ------------- “Ini keluhan masyarakat. Tahun 2003 ada 63 pemuda Aboru masuk penjara karena terlibat RMS, mereka bukan menuntut mau merdeka tapi seakan-akan ingin bertanya di mana kemerdekaan orang Aboru sebagai bagian dari anak bangsa. Kekerasan yang dilakukan orang Aboru tujuannya seperti itu. Jangan Aboru dipersalahkan terus-menerus karena masalah politik. Apa yang Aboru lakukan itu protes kepada pemerintah karena selama ini tidak tahu rasanya kemerdekaan seperti apa,” ujarnya. ----------- Janji sekolah akan dibangun pemerintah tak kunjung terealisasi. Sinyal dari pemerintah kabupaten Maluku Tengah bahwa akan membangun gedung SD Negeri 2 Aboru belum juga tereasisasi. Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu saat safari Natal di Aboru tanggal 7 Desember 2006, menjanjikan akan bangun SMU N 3 Pulau Haruku di dusun Naira dan pembangunannya akan dimulai bulan Maret 2007. Ternyata, janji gubernur juga tidak terwujud. ------------ Di Aboru, SD untuk anak-anak kampung berada di dalam desa Aboru, sedangkan SMP dan SMA kelas jauh (masih satu bangunan dengan SMP) berada di dusun Naira. Setiap harinya anak-anak Aboru harus berjalan kaki sejauh enam kilometer dengan medan bergunung. Medan yang menurut kami setelah melewatinya sangat berat untuk dilalui. ------------ Pendidikan warga di sana memang tertinggal. SMP dan SMA jarak jauh yang berada di dusun Naira harus ditempuh anak-anak sekolah melewati medan yang lumayan berat. Selain itu, guru mengajar mulai dari pagi hingga sore hari, dengan honor tambahan Rp.5.000 per jam. Warga pernah mengajukan proposal kepada Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah untuk menambah guru, tetapi belum ada tanggapan balik. ----------- Pelayanan kesehatan juga sangat minim. Kesehatan penduduk tak pernah dilayani dokter. Mereka hanya dilayani tiga tenaga medis, dengan persediaan obat-obatan yang sangat terbatas. ------------ “Harapan masyarakat sudah renggang karena kesenjangan sosial dan pembangunan yang tidak merata. Aboru harus berbuat seperti kemarin (insiden cakalele), jadi anak-anak yang di penjara itu jangan seakan-akan hukumannya nanti diberatkan, jangan pak. Kami juga menyesali tindakan kekerasan aparat polisi kepada para tahanan. Saudara-saudara mereka yang hendak menjenguk di larang datang bahkan dibilang orang RMS,” sesal Riry. ------------ Hal yang sama dikemukakan Tokoh Masyarakat Aboru, Salmon Tuankotta (69). Selain kecewa terhadap pembangunan yang tidak berpihak ke Aboru, dia mengatakan bahwa anak-anak Aboru sangat dianak-tirikan khususnya saat penerimaan PNS maupun penerimaan anggota TNI/Polri. Banyak anak Aboru yang sarjana maupun lulusan SMA tidak bisa bekerja di pemerintahan akhirnya menjadi pengangguran. ------------ “Dengan kondisi ekonomi sulit seperti sekarang ini, mereka mau ke mana. Peristiwa 29 Juni (insiden cakalele) yang menyangkut masalah politik itu, mereka mau tunjukan sikap secara moral bukan anarkis. Pemerintah seharusnya juga memperhatikan orang Aboru khususnya anak-anak muda yang masih menuntut masa depan mereka,” pintanya. ------------ Tuankotta mengaku sangat menyayangkan pencalonan tentara maupun polisi, justru banyak orang pendatang yang bukan anak daerah mengikuti test di Maluku lebih berhasil dibandingkan anak-anak daerah sendiri. ------------- “Kenapa banyak orang luar di terima sementara anak daerah tidak. Jadi kalau mau bilang tentara Pattimura muda, saya pikir itu keliru karena tentara kita di daerah ini banyak bukan orang Maluku. Itu yang bikin katong rasa seng enak,” akunya. ------------ Dari keseluruan orang Aboru, harapannya seragam. Mereka hanya meminta perhatian berupa sentuhan pembangunan dan persamaan hak untuk diterima sebagai pekerja di pemerintahan maupun TNI/Polri. Mereka menitip pesan buat Gubernur Maluku untuk merealisasikan janjinya membangun SMA maupun membuka jalan ke desa mereka. Pesan juga disampaikan kepada Kapolda Maluku untuk meminta anak buahnya tidak memperlakukan tahanan RMS dengan sesuka hati. ----------- Akhirya, setelah hampir empat jam keliling kampung, kami pamit dan diantar puluhan masyarakat Aboru menuju ujung kampung. Mereka melepas kami dengan penuh harapan. Kesan menakutkan ternyata tidak kami dapat di Aboru, sebaliknya keramahan masyarakatnya. Yang tersisa kini hanya harapan mereka. ----------- Masalah peningkatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur tentunya perlu mendapat perhatian khusus. Tuntutan ini sangat manusiawi. Kuncinya ada pada kemauan politik pemerintah, apakah membiarkan kekecewaan masyarakat Aboru terus bertambah dan akhirnya meledak, atau segera meredamnya. ------------- Dalam perjalanan pulang, saya mengingat kalimat Direktur Lembaga Antar Iman Maluku Pdt. Jacky Manuputty. “Orang Aboru itu diwongkan (diorangkan, red) sebagai orang yang jahat dan pemberontak. Stigma yang sudah menjadi stereotip ini bisa berdampak dua hal. Pertama, mereka menjadi terkucil karena stigma negatif itu, atau sebaliknya mereka menjadi sangat reaktif atau agresif,” katanya mengingatkan. (M. Azis Tunny) -------------- Komnas HAM Diminta Turun ke Ambon ------------ Aboru (Info): Keluarga para tersangka kasus makar Republik Maluku Selatan (RMS) meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk turun ke Ambon. Para keluarga tahanan RMS ini mengaku resah dengan perlakuan kekerasan yang dialami kerabatnya pasca ditahan oleh polisi. ------------ Warga Aboru Fredek Malawauw mengatakan, keluarga para tahanan yang banyak berasal dari Aboru sangat resah karena tindak kekerasan yang dialami para tahanan pasca insiden tarian cakalele saat Harganas di Ambon, 29 Juni lalu. “Anak-anak kami disiksa tanpa belas kasihan. Inikan negara hukum, kenapa ada perlakuan kekerasan di dalam penjara,” sesalnya. ------------- Fredek meminta agar Komnas HAM di Jakarta datang ke Ambon dan menghentikan tindakan kekerasan di penjara yang dialami para tersangka RMS. “Kami minta Komnas HAM memperhatikan masalah ini dan menghentikan perlakuan kekerasan ini. Anak-anak kami memang salah, kalau mau di hukum penjara silakan. Kami iklas mereka dipenjara, asalkan nilai-nilai kemanusiaan mereka juga dihargai. Permintaan ini bukan saja buat orang Aboru yang dipenjara, tetapi juga buat masyarakat lain,” kata Fredek. ---------- Ny. Popy Hendrik yang suaminya di tahan dalam kasus makar menambahkan, saat dia hendak mambawa makanan buat suaminya di penjara, dirinya dilarang masuk bahkan mendapat intimidasi dari petugas yang menyebutnya sebagai RMS. Perlakuan itu bukan saja dia dapat, keluarga tahanan lain juga dilarang untuk membesuk. ----------- Kepala Urusan Pemerintahan Desa Aboru Yance Riry mengaku, banyak keluhan yang sudah disampaikan keluarga para tahanan, namun pihaknya tidak bisa berbuat banyak. “Kami harap masalah ini mendapat perhatian Kapolda Maluku untuk menegur bawahannya. Kami juga minta, jika ada penggeledahan rumah-rumah warga di Aboru saat mengejar tersangka RMS, jangan lagi membuat takut perempuan dan anak-anak di kampung kami karena saat masuk banyak pintu rumah yang ditendang hingga rusak,” katanya. ---------- Yance membenarkan saat penyergapan polisi, kampung saat itu dalam kondisi gelap-gulita karena listrik di Aboru giliran padam. Namun dia membantah ada pelemparan yang dilakukan warganya saat speedboat polisi merapat di pantai. ---------- “Tuduhan itu tidak benar. Masyarakat sebaliknya takut karena aparat yang datang banyak dan semuanya bersenjata. Mana mungkin ada masyarakat berani melempar saat itu,” tandasnya (RIB-2/IB-2) --------- Minta Selvianus Dicari Hidup Atau Mati --------- Aboru (Info): Keluarga tahanan Republik Maluku Selatan (RMS) Selvianus Malawauw meminta pertanggungjawaban pihak Kepolisian Daerah Maluku karena dianggap lalai menjalankan tugas yang menyebabkan Selvianus tenggelam dalam kondisi tangan terborgol. Keluarganya meminta Selvianus dicari dalam keadaan hidup atau mati setelah tenggelam saat speedboat yang ditumpanginya bersama 25 anggota polisi terbalik karena dihantam gelombang di perairan Desa Oma Pulau Haruku, Minggu dinihari (8/7). ------------ Saat itu, 150 personil polisi dikerahkan Polda Maluku untuk menangkap 30 anggota RMS yang di duga berada di Desa Aboru Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Selvianus yang ditangkap karena menjadi salah satu penari cakalele yang membentangkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon, sengaja dibawa bersama empat anggota RMS lainnya untuk menunjukkan tempat tinggal 30 anggota RMS yang menjadi target penangkapan itu. ------------- Pasca hilangnya Selvianus yang diduga telah tenggelam terbawa arus gelombang laut musim timur, sampai kini keluarganya belum diberitahukan oleh pihak kepolisian. Ibu Selvianus, Ny. Doly Malawauw yang mengetahui kabar hilang anaknya melalui pemberitaan media televisi langsung strok dan kini dirawat oleh keluarganya di Aboru. ------------- “Kami minta pemerintah dan Polda Maluku mencari anak kami sampai dapat dalam keadaan hidup atau mati. Saat tenggelam Selvianus berada dalam tanggungjawab kepolisian maka polisi harus bertanggungjawab atas keselamatannya. Kami menilai polisi tidak menghargai nyawa anak kami sebagai anak manusia,” sesal paman Selvianus, Fredek Malawauw kepada Info Baru di Desa Aboru, Rabu (11/7). ------------ Menurut Fredek, pihak keluarga merelakan jika Selvianus dihukum penjara karena perbuatan makarnya, namun tidak menerima kalau dia harus meninggal karena kelalaian polisi saat bertugas. Ia menyayangkan, keselamatan jiwa para tahanan RMS yang akan membantu polisi mencari 30 anggota RMS tidak diperhatikan. Dalam situasi laut bergelombang dan mengancam jiwa, tangan para tahanan dibiarkan terborgol serta tidak dilengkapi alat pelampung sebagaimana dipakai oleh para polisi. ------------ “Kalau mereka tersangka dan dibawa polisi untuk membantu penangkapan, kenapa tidak dilengkapi dengan pelampung seperti petugas polisi lainnya apalagi dengan tangan diborgol. Bagaimana bisa selamat kalau kondisinya seperti itu. kami menilai pemerintah sengaja menyembunyikan kematian anak kami,” tandasnya. ------------- Kakak Selvianus, Calvin Malawauw mengatakan, pihak keluarga akan menuntut kepolisian bertanggungjawab atas masalah ini. “Cepat atau lambat kami akan menuntut pihak kepolisian. Mereka harus pastikan bahwa adik kami masih hidup atau sudah meninggal. Yang paling kami sesali, sampai saat ini tidak ada pemberitahuan sama sekali dari polisi ke keluarga,” katanya. -------------- Kepala Urusan Pemerintah Desa Aboru Yance Riry menyebutkan, hilangnya Selvianus di laut membuat masyarakat sangat marah karena tidak ada kepastian dan pemberitahuan dari polisi. Masyarakat telah berinisiatif mencari Selvianus hanya saja cuaca buruk dan gelombang membuat niat itu belum bisa dilakukan. -------------- Sebelumnya, La Awal yang pengemudi speedboat yang tenggelam mengaku bahwa dia sempat melihat salah satu penumpang meloncat ke laut lebih dulu sebelum speedboat terbalik. “Saya tidak kenal orang itu tapi tangannya terborgol. Dia melompat pertama kali ke laut. Saat kejadian, gelombang laut sangat besar membuat semua orang panik,” katanya. --------------- Sementara itu, Wakil Kepolisian Daerah Maluku Komisaris Besar Polisi Beny Kilapong kepada wartawan mengakui bahwa para tersangka RMS termasuk Selvianus ketika berada di speedboat tangannya dalam keadaan di borgol. Hanya saja, kata dia, ketika melihat kondisi laut yang membahayakan penumpang, borgol di lepas agar tersangka bisa mempertahankan dirinya jika sewaktu-waktu terjadi musibah di laut. ”Tidak benar bila borgol itu tidak di lepas,” katanya mengelak. (RIB-2/IB-1) Dikirim oleh Siake Manue on July 22 2007 13:16:54