15.4.06

Mengenang Bilur-bilur Damai di Tengah Bara Konflik Maluku

13-Apr-2006, Daniel Nirahua - Ambon -------- SELAMA sekian tahun, cerita tentang konflik Maluku tahun 1999 hingga tahun 2004, selalu bertabur darah dan dendam. Sebut saja, berita di media maupun tuturan lisan, banyak yang mengeksploitasi sisi perang. Hanya sedikit yang menuliskan fakta sisi damainya. Itu pun tenggelam dalam headline yang panas dan kerap provokatif. ------------ Ketika mainstream berita media berada di jalur perang, beberapa jurnalis melaporkan Pemimpin Pondok Pesantren di Wahai Seram Utara yang menampung pengungsi warga Kristen. Sedangkan di Kota Ambon, keteguhan penduduk Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon Baguala memelihara perdamaian Islam-Kristen, juga menjadi medan wacana yang agak lain. -------- Sebenarnya, cerita damai tidak saja datang dari Seram Utara atau Desa Wayame. Banyak kejadian besar-kecil berisi persentuhan warga Islam-Kristen secara damai dalam konflik yang sedang membara sekalipun. Sayangnya, pengalaman saling menyentuh itu kebanyakan tersimpan sebagai kenangan manis oleh mereka yang mengalami langsung. --------- Ramla Lessy (34 tahun) adalah seorang saksi hidup. Gadis hitam manis ini berasal dari Desa Nuniali Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Keluarganya adalah penganut Islam sejak nenek moyang. --------- Ketika konflik merambah Nuniali, Oktober 1999, warga minoritas Muslim di sana sempat bimbang ke mana harus berlari. Namun Ramla dan warga Muslim lainnya, akhirnya memilih mengungsi bersama warga Kristen ke Taniwel ketika kampung itu akhirnya rata denagan tanah, menyisakan gedung gereja. ----------- "Rekan-rekan beta bilang, ale orang Islam, mengapa mengungsi dengan orang Kristen? Beta jawab, beta lahir dan dibesarkan bersama orang Kristen. Beta tahu, ini bukan konflik agama," tutur Ramla. ---------- Ramla mengungkapkan, konflik di wilayah itu, membuat warga Muslim Nuniali yang tadinya ikut ikut mengungsi ke Taniwel, terpaksa memilih berpisah. Mereka bergabung ke kampung Muslim lainnya, bahkan ada yang pulang ke negeri leluhur di Buton, Sulawesi Tenggara. -------- Tetapi Ramla dan ibunya tetap bergeming menghadapi berbagai kasak-kusuk yang menggoyahkan saudara dan kerabat lainnya. Dia ingin buktikan, bahwa semangat pela-gandong masih tetap hidup. --------- "Beta bertahan, karena sebagai orang asli Nuniali, tentu tidak akan saling menyakiti. Beta asli Nuniali, jadi tidak takut. Kalau hidup dengan orang, pasti orang juga berbuat baik," cetus Ramla. ----------- Lima tahun, Ramla dan ibunya bertahan di tengah saudara sekampung kendati beda agama. Empat kali, keduanya melewati bulan suci Ramadhan di pengungsian. Munurut Ramla, ibadah puasa dan sholat, tetap dijalankan secara baik tanpa ada yang risih, apalagi sampai melarang. "Walau tidak ada masjid di sini, saya melakukan ibadah seperti biasa tanpa ada larangan dari siapapun," ungkapnya. --------- Ketika Lebaran tiba, dia bersama ibunya merayakan hari yang penuh rahmat di kampung tetangga Desa Kasieh. Hal ini dilakukan semata-mata karena ingin bersua dan lebih dekat sekaligus melepas rindu dengan sesame Muslim. Untuk mempertahankan hidup di pengungsian, Ramla dan ibunya bahu-membahu membuka kios kecil, menjual keperluan sehari-hari. Sumber pencarian yang tetap, ditambah perlindungan warga Kristen, membuat ibu dan anak ini tidak pernah berpikir untuk berpisah dengan warga Kristen Nuniali. ---------- RAJA MUSLIM Kisah Ramla, mirip pengalaman Abdullah Hasim Kolly di Desa Wakolo, yang bertetangga dengan Desa Nuniali. Penduduk Wakolo adalah pemeluk Kristen. Satu-satunya keluarga Muslim adalah keluarga Abdullah Hasim Kolly. --------- Nasib Desa Wakolo sam dengan Desa Nuniali yang habis dilahap api peperangan. Seluruh penduduk Wakolo juga mengungsi ke Taniwel, termasuk keluarga Hasim yang Muslim. ----------- Tahun 2000, ketika konflik masih membara, warga Wakolo di pengungsian memilih raja. Warga Kristen Wakolo ternyata memilih Hasim menjadi raja. "Hasim boleh dikata menorah sejarah, sebab jarang orang Islam jadi raja di Kampung Kristen apalagi saat konflik," ujar pemuda Taniwel, Yongky Nouwe. ------------ Tentang terpilihnya dirinya sebagai Raja Wakolo, Hasim mengaku, warga Wakolo memilih dirinya tanpa melihat perbedaan agama. "Mereka mengerti tentang adapt dan mereka tahu ini bukan konflik agama, karena itu, saya dipilih menjadi raja," ujar pensiunan TNI AD ini. ------------ Dia juga menuturkan, sejak menjabat raja, warganya selalu hidup rukun, dan menuruti apa yang dikatakan pemimpinnya. Sebab itu, Hasim pun mengaku berusaha mendapatkan bantuan bagi warganya. ---------- Hasim yang pernah menjabat Koramil Taniwel ini mengaku, sebgai manusia kerap juga ada perasaan curiga. Tapi dia berusaha terlihat adil. Untuk pergi ke Kota Ambon, dia tidak melewati jalur yang biasanya dilalui warga Muslim. Dia ikut saja jalur yang ditempuh warga Kristen. Padahal di Ambon kerap ada sweeping Kartu Tanda Penduduk. Kalau kedapatan berbeda agama, sangat berbahaya bagi keselamatan. "Itu saya lakukan untuk menjaga perasaan warga Wakolo. Saya juga tidak mau disebut mata-mata," ungkapnya. ---------- Menurut dia, rasa curiga kerap datang kalau dirinya berhubungan dengan warga Muslim lainnya. Tapi Hasim mengimbanginya dengan meyakinkan warganya bahwa dia tak akan pernah berkhianat. "Ini bukan soal agama, tapi soal komitmen memimpin warga yang beda agama da saya punya rasa tanggung jawab," cetusnya. ---------- Hasim berharap, pemerintah secepatnya mengembalikan pengungsi ke desa asal. Alasannya, hidup di tanah orang sangat susah dan bergantung pada pengasihan orang lain. Beda kalau di negeri sendiri, warga dpat berusaha di atas tanah dan lahannya sendiri. --------- WARTAWAN MUSLIM Kenangan manis di tengah konflik, juga masih segar dalam ingatan wartawan harian Ambon Ekspres, Hamid Kasim (37 tahun). Ceritanya, ketika pecah konflik 19 Januari 1999, dia masih berstatus sebagai wartawan harian Suara Maluku. Pada hari raya Idul Fitri itu, Hamid berangkat ke Kompleks OSM Kampung Banda Kecamatan Nusanive Kota Ambon. Di sana, dia akan bersilaturahmi dengan pamannya bernama Dahlan Umar. ------------ Tiba di OSM, Hamid bertemu dua rekannya yang kemudian bersama dia mereka keliling ke beberapa keluarga Muslim. Sampai pukul 16.00 WIT mereka pun bubar. Namun nahas bagi Hamid, sebab begitu hendak pulang, dia tidak menemukan satu pun angkutan umum yang lewat. Dia hanya mendengar kabar dari orang-orang di jalan bahwa konflik sudah pecah dan masyarakat sedang melakukan sweeping KTP. ------------- Tapi Hamid belum merasa genting. Dia tetap memilih pulang dengan bejalan kaki. Maka ketika tiba di depan pabrik sabun yang terletak di Kawasan Wainitu Ambon, tiba-tiba dirinya dihadang sekelompok orang. "Kamu orang mana? Tinggal di mana dan nama sapa?" kata Hamid meniru ucapan orang yang menghadangnya. --------- Karena panik, gugup dan bingung, Hamid hanya terdiam. Detik berikutnya, ada suara seseorang memerintahkannya mengeluarkan KTP. Tak ayal, Hamid gemetar, karena dia berada di wilayah yang mayoritas warganya memeluk agama Kristen sedangkan KTPnya dengan jelas menunjuk kalau dia beragama Islam. --------- Di tengah kepanikannya, muncul seseorang yang lantas menarik lengannya dan membawanya pergi dari situ. Ternyata orang yang membawanya pergi, keluar dari ketegangan tersebut adalah Marsel, seorang mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Pattimura Ambon yang dia kenal baik. ---------- Menurut Hamid, dia kenal baik Marsel, karena sebagai jurnalis, dia pernah meliput perayaan Paskah Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) Cabang Rehobot Ambon. Liputan perayaan Paskah itu dimuat pada harian Suara Maluku, tempat Hamid bekerja ketika itu. Nah, Marsel sendiri adalah salah satu pemuda yang aktif di AMGPM Cabang Rehobot ini. --------- Rumah Marsel terletak di Kawasan Air Putih Kelurahan Wainitu, tak terlalu jauh dari lokasi para pemuda yang menghadang Hamid tadi. Di rumah Marsel inilah Hamid berlindung sampai pukul 23.00 WIT. Begitu situasi konflik agak mereda, Hamid lalu dibawa kabur melalui jalur alternatif menuju kawasan Tanah Lapang Kecil (Talake) untuk kemudian ke Waihaong yang warganya mayoritas Muslim. "Marsel dan keluarganya melindungi saya. Mereka minta saya tidak usah khawatir. Sampai situasi ketegangan agak mereda, saya diantar pulang," kenangnya. ---------- Menurut ayah beranak satu ini, konflik di Ambon bukan konflik agama. "Kalau konflik agama, mengapa saya tidak dibunuh, tapi justru diselamatkan?" serunya. Menurut dia, konflik yang terjadi adalah karena kepentingan orang-orang tertentu bukan antara orang Kisten atau orang Muslim. "Kami hanya korban permainan orang-orang yang tidak bertanggung jawab," ujarnya. --------- DITOLONG PAK HAJI Cerita yang serupa tapi tak sama, juga dialami pemuda Wainitu bernama Ferdinand Randa (29 tahun). Dia sempat mengalami ketegangan persis di tanggal 19 Januari 1999 dan juga ditolong orang. Sayangnya, dia tidak sempat menanyakan sanga penolong karena benar-benar panik dan merasa takut. Tapi dia ingat betul, pria berpeci yang menolongnya itu disapa orang dengan sebutan Pak Haji. ---------- "Beta lihat sendiri, teman-teman dihajar massa. Bahkan ada yang dianiaya dengan parang. Bagaimana beta tidak takut?" ungkapnya. --------- Dikisahkan, ketika itu dia dan rekan-rekannya baru saja kembali dari kawasan Air Besar Passo, Kecamatan Teluk Ambon Baguala. Begitu tiba di Jalan A.Y. Patty Ambon, yang terletak di pusat kota, mobil yang mereka tumpangi diperintahkan menuju depan Masjid Al Fatah. Seluruh penumpang diperintah turun lalu digeledah. ---------- Ferdinand sendiri berhasil lolos dari pemeriksaan dan menuju salah satu rumah di nkawasan tersebut. Tanpa pikir panjang, dia langsung masuk rumah orang yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. ---------- "Om, tolong beta jua. Beta ini orang Kristen," kata Ferdinand kepada si pemilik rumah. Pemilik rumah yang oleh orang sekitar akrab disapa Pak Haji itu, langsung meminta Ferdinad segera masuk dan memintanya tidak cemas. --------- Selama disembunyikan beberapa jam di situ, Pak Haji sempat memberi makan dan minum. Bahkan, Pak Haji memintanya tidur di situ sampai esok harinya. "Tapi beta khawatir, beta minta diantar ke perbatasan," tuturnya. -------- Setelah melihat kondisi konflik agak mereda, Pak Haji dan anak laki-lakinya membawa Ferdinand melewati depan Masjid Al Fatah menuju Jalan A.Y. Patty, agak jauh dari kawasan Muslim. Di sanalah, ketika kondisi diyakini sudah betul-betul aman bagi Ferdinand, mereka lalu berpisah. --------- "Nyong jalan terus saja. Jangan balik kiri atau kanan. Lurus saja sampai di Pos Polisi Kota (Markas Polsek Sirimau, red)," kata Ferdinand meniru ucapan orang yang menyelamatkannya itu. --------- Ketika situasi Ambon sudah kembali normal dan warga Muslim dan Kristen sudah kembali berbaur, Ferdinand pernah beberapa kali kemali ke kawasan tempat persembunyiannya dulu. Sayang, dia tidak bisa pastikan lagi, di mana rumah dia bersembunyi ketika itu. Pak Haji dan anaknya pun sukar dicari, apalagi ketika itu Ferdinand tidak sempat bertanya nama sanga penolong tersebut. -------- PENUMPANG DOLORONDA Kenangan lain berupa kisah heroisme, juga terjadi ketika pecah kembali konflik pada tanggal 25 April 2004, sebagai buntut arak-arakan masa simpatisan dan pendukung Front Kedaulatan Maluku (FKM) bertepatan dengan hari yang disebut-sebut sebagai ulang tahun Republik Maluku Selatan (RMS). ------- Hari itu, Senin (25/4) secara kebetulan Idham Khalid pemuda (25 tahun) asal Waihaong, sedang berada di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon. Saat itu Kapal Motor (KM) Doloronda telah merapat di pelabuhan. Sementara di area parkir kendaraan, massa yang marah telah menanti kedatangan penumpang KM Doloronda yang diketahui beragama non Muslim. ------- Begitu mobil polisi penjemput melintas, massa langsung menghadang dan meminta polisi menurunkan penumpang. Massa yang berjumlah begitu besar membuat para polisi tidak bisa berbuat apa-apa. ------- Idham menuturkan, saat kejadian dia melihat ada anggota Laskar Jihad. Tapi kehadiran mereka untuk menenangkan massa. Bahkan anggota Laskar Jihad itu meminta penumpang segera dibebaskan. -------- Di tengah ricuhnya suasana, Idham menarik lengan seorang gadis yang saat itu berada di dekatnya. Sang gadis yang ketakutan, menurut saja ketika Idham membawanya kabur lewat arah belakang pelabuhan. "Memang ada yang sempat lihat, tapi mereka pikir perempuan itu akan saya aniaya. Mereka tidak tahu beta pung hati. Beta ingin selamatkan gadis itu," ungkap Idham. ----- Tak jauh dari lokasi kejadian, ada Pos TNI yang terletak persis di samping Kantor Administrator Pelabuhan (Adpel) Ambon. Di pos itulah gadis tersebut diserahkan oleh Idham. "Beta hanya bilang, Pak dia ini orang Kristen. Tolong selamatkan dia," tuturnya. ------ Walau tidak tahu identitas orang yang diselamatkan, Idham bersyukur bisa membantu orang lain. "Berbeda agama bukan alas an untuk saling menyakiti. Beta selamatkan orang itu karena rasa kemanusiaan saja," ujar Idham. ------ Kisah Ramla, Hasim, Hamid, Ferdinad dan Idham, hanyalah segelintir cerita sejuk yang tercatat ketika bara konflik melanda Ambon. Namun pengalaman mereka, mengisyarakatkan bulir-bulir damai yang tetap hidup di Maluku maupun di Maluku Utara, sekalipun ketika itu perang tengah berkecamuk.(**) ------ Cat: Tulisan ini sebelumnya dimuat pada Harian Suara Maluku Ambon